Persis 7 tahun lalu, Bengkulu 'dinobatkan' sebagai
penghasil kopi Robusta terbesar ke-3 di Indonesia. Hal ini tidak terlampau jauh
setelah pemerintah provinsi Bengkulu menetapkan salah satu hasil perkebunan ini
sebagai komoditas unggulan. Bahkan kopi Robusta Bengkulu diprediksi menjadi
'primadona baru' di kancah perkopian nasional maupun internasional.
Bukan hanya itu, kopi Bengkulu juga akan mampu bersaing
secara cepat atas terbukanya peluang pasar baik dalam negeri maupun
internasional sehingga dapat menguasai pasar secara baik.
Pasalnya, dari tahun ke tahun konsumsi kopi dunia terus
meningkat termasuk di Indonesia sendiri. Tren kopi di Indonesia bahkan dunia
lagi naik daun secara signifikan. Hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk
dunia, perbaikan ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang ikut
berperan dalam peningkatan konsumsi kopi dan produk olahannya.
Animo nimum kopi masyarakat pun cukup meningkat drastis.
Bahkan kopi tidak lagi diidentikkan untuk kalangan tua semata, namun sudah 'mewabah'
ke kalangan anak muda atau lebih dikenal dengan sebutan generasi milenial.
Seiring berkembangan zaman, budaya minum kopi pun
berkembang. Setidaknya yang menjadikan dasar kopi menjadi tren saat ini bisa
dibagi menjadi tiga gelombang perkembangan yang menunjukkan jenis-jenis minuman
kopi yang populer di dunia.
Pada sebuah artikel di Wrecking Ball Coffee Roasters
tahun 2002, Trish Rothgeb mendefinisikan ada tiga pergerakan dalam dunia kopi.
Ia menyebutnya dengan istilah gelombang atau waves.
Gelombang Pertama
Gelombang pertama dikenal dengan sebutan First Wave
Coffee. Berawal di tahun 1800-an di mana kopi disiapkan untuk harga yang
terjangkau dan mudah disajikan. Era ini memusatkan pada inovasi kemasan dan
kepraktisan penyajian, yaitu kopi instan.
Kopi instan sangat mudah diterima masyarakat karena tak
memerlukan alat yang ribet. Bahkan digunakan pula oleh para tentara pada Perang
Dunia I tahun 1917 sebagai minuman sehari-hari.
Gelombang Kedua
Munculnya gelombang kedua atau dikenal dengan Second
Wave Coffee ini dikarenakan kopi instan dianggap buruk. Para peminum kopi
menginginkan kopi yang nikmat serta pengetahuan tentang apa yang mereka minum
itu. Boleh dibilang, gelombang ini merupakan kritik terhadap kopi instan pada
gelombang pertama.
Era ini bermula tahun 1960-an dan kemudian mulai dikenal
istilah-istilah dan sajian-sajian minuman kopi yang baru. Hal ini seiring
dengan mulai bermunculan coffee shop yang menawarkan minuman kopi dengan
gaya baru, yaitu espresso, latte, cappucino, frapucino,
dan lain-lain. Orang-orang yang semula menikmati kopi secara instan di rumah
maupun di kantor mulai berpindah ke coffee shop.
Di coffee
shop, orang-orang tak hanya datang untuk menikmati kopinya saja. Melainkan
juga untuk mengobrol bersama teman terdekat atau membahas masalah pekerjaan.
Gelombang Ketiga
Istilah Third Wave Coffee muncul pada awal tahun
2000-an. Kemunculannya bersamaan dengan munculnya istilah First Wave dan
Second Wave dalam pemetaan budaya minum kopi masyarakat dunia.
Gelombang ketiga atau Third Wave Coffee ini
ditandai dengan mulai tertariknya para peminum kopi terhadap perjalanan kopi
sejak dipanen hingga tersaji menjadi sebuah minuman.
Orang-orang mulai merasa bahwa secangkir kopi memiliki cultural
experience yang panjang dan sarat makna. Perjalanan tersebut meliputi di
mana asalnya ditanam, proses pengolahan biji, serta cara penyajiannya menjadi
sebuah minuman.
Pada fase ini, muncul istilah origin, dimana
digunakan sebagai identitas daerah atau kebun tempat jenis kopi tersebut
tumbuh. Hal ini dilakukan agar kopi-kopi bisa lebih dikenali secara spesifik
karena satu varietas kopi bisa melahirkan varietas dan citarasa yang berbeda
jika ditanam di daerah yang berbeda. Kualitas dan rasa kopi benar-benar
diperhatikan secara dalam dan lebih mendetil.
Indonesia sendiri memiliki beberapa daerah penghasil kopi
yang terkenal dan mendunia. Di antaranya ada Gayo dan Mandailing di Sumatra,
Preanger di Jawa, Kintamani di Bali, bahkan hingga Flores dan Papua.
Daerah-daerah tersebut memiliki jenis-jenis kopi dengan citarasa yang unik dan
berbeda. Termasuk kopi Bengkulu yang memiliki potensi besar ini.
Pada tahun 2018 ditegaskan melalui hasil penelitian dan
kajian mendalam oleh seorang peneliti dan tenaga ahli Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia Ir. Yusianto yang meneliti kopi Bengkulu sebagai sampel di
daerah Kabupaten Kepahiang dan Kabupaten Rejang Lebong bahwa kopi Kepahiang dan
kopi Rejang Lebong sebagai ciri khas kopi dataran tinggi punya karakter dan
rasa yang luar biasa.
Jika pada umumnya, kopi Robusta memiliki rasa asam, tapi
kopi Robusta Kepahiang ini tidak hanya ada rasa asamnya, tapi ia punya rasa
karameli, coklati dan ada rasa pedesnya dikit. Sedangkan Kabupaten Rejang
Lebong memiliki rasa kopi yang khas dan kompleks serta berbeda dengan
Kepahiang.
Itu kemudian menjadikan dasar pemerintah untuk mengambil
tindakan penyelamatan dengan mendaftarkan perkebunan kopi rakyat Kepahiang dan
Kabupaten Rejang Lebong untuk mendapatkan sertifikasi Indikasi Geografis (IG)
dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM
Republik Indonesia.
Indikasi Geografis ini merupakan suatu tanda untuk
menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor
lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari
kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu
pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Ini merupakan upaya pemerintah
Bengkulu menjawab tantangan Third Wave Coffee serta melindungi hasil
perkebunan kopi rakyat.
Untuk itu, pemerintah provinsi Bengkulu bekerjasama
dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indoensia telah berhasil secara bertahap
mendaftarkan perkebunan di Kabupaten Kapahiang dan di Kabupaten Rejang Lebong
(Kopi Robusta Rejang Lebong) untuk dipatenkan.
Di
tahun 2018 sertifikasi Indikasi Geografis untuk perkebunan kopi rakyat
Kabupaten Kepahiang (Kopi Robusta Kepahiang) sudah dikeluarkan oleh Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI. Sementara Kabupaten
Rejang Lebong ditargetkan tahun ini dapat terealisasi.
Perkebunan Kopi Rakyat Bengkulu
Kopi ditetapkan sebagai komoditas unggulan oleh
pemerintah provinsi Bengkulu bukan tanpa alasan. Kopi dari hasil perkebunan
rakyat ini sudah menjadi sumber pencarian pokok masyarakat Bengkulu lebih dari
64.645 petani/KK secara turun temurun (2015, DTPHP Provinsi Bengkulu).
Harapannya, jika dikembangkan lebih baik akan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Bengkulu mulai dari hulu hingga hilir.
Bengkulu menghasilkan 88.8861 ton/ tahun kopi Robusta.
Sementara Sumatera Selatan 147.000 ton/ tahun, Lampung 131.854 ton/ tahun, dan
Sumatera Utara 60, 758 ton/ tahun sementara Jawa Timur 61.337 ton/ tahun. Maka
Bengkulu masuk 5 daerah pengahasil kopi terbesar di Indonesia. Sementara Indonesia sendiri berada pada
peringkat ke-4 terbesar penghasil kopi di dunia di bawah Brazil, Vietnam dan
Colombia (Data: katadata.co.id, ico.org, pertanian.go.id, Liputan6.com).
Jika ditinjau dari kontribusi produksi kopi nasional,
provinsi Bengkulu merupakan salah satu daerah sentra produksi kopi Robusta di
Indonesia yang memiliki peran cukup penting, baik sebagai sumber pendapatan
utama petani maupun sumber devisa negara (2018, Laporan Kajian Dasar (Baseline
Study) Pengelolaan Potensi Perkebunan Komoditas Kopi di Provinsi Bengkulu).
Kopi Robusta Bengkulu cukup dikenal dikarenakan citarasa
yang khas karena didukung dengan tingkat kesuburan tanah yang pada umumnya
berupa tanah vulkanik dan kondisi iklim yang sangat mendukung. Rata-rata berada
diketinggian 800-1.000 mdpl ke atas. Selain itu, jenis bahan atau bibit kopi
yang digunakan dan proses pasca panen yang dilakukan petani sangat berpengaruh
terhadap citarasa khas yang dihasilkan.
Provinsi Bengkulu yang terdiri dari 10 kabupaten dan
kota, hanya kota Bengkulu saja yang bukan merupakan penghasil kopi. Meski di
tiap-tiap daerah memiliki luasan perkebunan dan citarasa yang beragam. Seperti
di Kabupaten Kaur memiliki lahan perkebunan kopi rakyat produktif 9.545 ha,
Kabupaten Bengkulu Selatan 2.698 ha, Kabupaten Seluma 8.159 ha, Kabupaten
Bengkulu Tengah 4,411 ha, Kabupaten Bengkulu Utara 7.974 ha, Kabupaten Kaphiang
24.123 ha, Kabupaten Rejang Lebong 21.634 ha, Kabupaten Lebong 8.103 ha, dan
Kabupaten Mukomuko 95 ha (2018, Profil Komoditi Unggulan Perkebunan -- Kopi,
Kelapa Sawet, dan Karet-- di Provinsi Bengkulu, Dinas Taman Pangan,
Holtikultural dan Perkebunan).
Sementara kopi Arabika pada perkebunan rakyat masih
terbilang rendah dan hanya ada di 5 kabupaten saja. Seperti di Kabupaten
Bengkulu Tengah hanya ada 320 ha, Kabupaten Rejang Lobong 640 ha, Bengkulu
Utara 2.210 ha, Kabupaten Mukomuko 9 ha, dan Kabupaten Kepahiang 555 ha.
Dari sisi produksi, pemerintah menggencarkan pendampingin
kepada petani untuk tetap mempertahankan kualitas. Bukan hanya pendampingan di
hulu saja namun dilakukan secara kontinue hingga hilir dan bertahap. Maka saat
ini sudah bermunculan pegiat-pegiat atau UKM Kopi yang menjadi salah satu
promotor yang gencar mempromosikan kopi Bengkulu melalui brand-nya
masing-masing.
Bahkan sudah mulai bermunculan menjadikan kopi bukan
hanya sebagai bahan minuman saja, tapi sudah merambah ke produk lain. Seperti
berupa parfum dan lain-lain. Sehingga kopi Bengkulu dapat dinikmati atau
disajikan dengan cara yang berbeda untuk para penikmatnya.
Pemerintah Provinsi Bengkulu saat ini sudah menetapkan roadmap
menuju rantai nilai yang kompetitif dan dinamis untuk kopi Bengkulu mulai
dari hulu hingga proses ke hilir dalam rangka pengembangan untuk mendapatkan
efek yang lebih luas.
Di hulu, strategi yang dikembangkan adalah dengan
membangun model-model kemitraan berbasis sektor swasta yang melibatkan petani,
pedagang dan pabrik pengolahan secara langsung. Termasuk melakukan transfer
pengetahuan mengenai persyaratan mutu atau kualitas, pengelolaan lingkungan dan
peningkatan produktivitas.
Dari sisi kualitas, pemerintah terus melakukan
pendampingan standarisasi dan sertifikasi produk. Salah satunya seperti
dijelaskan di atas yaitu Indikasi Geografis (IG). Kemudian sertifikasi halal
dan lain sebagainya untuk memehuni atau membangun kepercayaan publik dan
menjaga kontinuitas dan konsistensi dari sisi kualitas produk kopi lokal
Bengkulu.
Kemudian pemerintah juga melakukan pengembangan dan
diversifikasi produk melalui modernisasi mesin dan peralatan produksi kopi.
Seperti mesin pengolahan dan pengemasan. Hal ini untuk mendapatkan nilai tambah
melalui proses yang lebih efisien untuk memenuhi pasar domistik maupun ekspor
baik untuk kelas kopi komersil maupun kopi premium.
Sementara di hilir, komunitas-komunitas kopi di semua
level kelas, baik yang memproduksi kopi komersil maupun kopi premium terus
diberikan pelatihan-pelatihan dan kegiatan lain seperti workshop,
seminar, roadshow, festival kopi, pameran kopi dan sebagainya. Hal
tersebut untuk menambah pengetahuan serta membangun branding kopi di
skala nasional dan internasional.
Bengkulu sudah jalin kerjasama pemasaran produk kopi
lokal Bengkulu dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta pada tanggal 29 Maret
2019 dengan brand Bencoolen Coffee. Dan secara resmi dilakukan bersamaan
dengan Peresmian Jakbook, TPA Bina Tunas Jaya IV dan Jakmart Pasar Kenari oleh
Gubernur DKI Anies Baswedan.
Upaya ini tentu untuk memasarkan apa yang dihasilkan
masyarakat pedesaan, petani tradisional yang dikelola secara organik, dalam hal
ini kopi, bisa tampil di dalam pasar modern dan harapannya dapat diterima di
pasar nasional bahkan internasional.
Untuk
melancarkan promosi, salah satunya adalah melakukan pemilihan nama yang
kemudian disepakati sebuah kombinasi yaitu Batavia
Bencoolen Coffee sebagai brand agar dapat mudah
dikenal
di nasional khususnya DKI Jakarta untuk mempromosikan Kopi Bengkulu.
Pemerintah DKI berkomitmen akan
memfasilitasi kopi–kopi dari Bengkulu dan harapannya kedepan kopi Bengkulu dapat
dikenal luar baik di DKI Jakarta maupun di mancanegara.
Pulau Sumatera memiliki kontribusi besar sebagai penghasil
kopi terbesar dan berkualitas di Indonesia dan bahkan sudah diakui oleh dunia
internasional, seperti kopi Gayo Aceh, Kopi Mandheling Sumatera Utara, Kopi
Solok Sumatera Barat, Kopi Kerinci Jambi, Kopi Pagar Alam Sumatera Selatan,
Kopi Lampung dan lain-lain.
Pada Rapat Koordinasi seluruh Gubernur se Pulau Sumatera
tanggal 08-10 Juli 2019 kemarin, disepakati untuk mendorong konektivitas pulau
Sumatera melalui dukungan percepatan pembangunan infrastruktur strategis
seperti Jalan TOL Trans Sumatera yang menghubungkan dengan pelabuhan-pelabuhan
strategis masing-masing wilayah.
Bengkulu yang letaknya sangat strategis di Pesisir Barat
Pulau Sumatera saat ini sedang melakukan tahapan pengembangan pelabuhan Pulau
Baai sebagai Kawasan Ekonomi Kreatif (KEK), pembangunan Jalan Tol Bengkulu -
Lubuk Linggau Sumatera Selatan, pembangunan Jalan KA Pulau Baai - Kota Padang
serta meningkatan bandara Fatmawati menjadi bandara internasional.
Sehingga dengan kondisi tersebut di atas, pada momentum
Rakor Gubernur se Pulau Sumatera kemarin, menghasilkan sebuah
kesepakatan-kesepatan yang tertuang dalam "Memorandum of Rafflesia"
salah satu poinnya adalah menjadikan Bengkulu sebagai leding sektor Sumatera
Coffee Trading House untuk pengembangan kopi Sumatera sebagai
komoditas unggulan pulau Sumatera.
Dengan menjadikan Bengkulu sebagai pusat perdagangan kopi
yang terintegrasi di Pulau Sumatera sekaligus sebagai pusat kerjasama pemasaran
dan peningkatan kualitas produk kopi mulai dari hulu hingga hilir.
Hal
ini diharapkan dapat mendorong untuk meningkatkan Pulau Sumatera dalam eskalasi
pertumbuhan ekonomi nasional melalui optimalisasi sumber-sumber ekonomi baru
serta meningkatkan produktivitas serta hilirisasi komoditas unggulan Pulau
Sumatera yang sudah menjadi unggulan masing-masing provinsi. [*]